Flashback Tragedi Lumpur Lapindo Sidoarjo

Lapindo Brantas Inc. atau LBI adalah perusahaan yang bergerak di industri minyak bumi dan gas. Saat itu, mereka tengah melakukan pengeboran sumur.
Flashback Tragedi Lumpur Lapindo Sidoarjo
Lapindo Brantas Inc. atau LBI adalah perusahaan yang bergerak di industri minyak bumi dan gas.

16 tahun lalu, sebuah desa kecil di Sidoarjo digemparkan oleh lumpur panas yang menyembur dari tanah. Tidak disangka bahwa lumpur ini akan menenggelamkan desa-desa, menghancurkan bangunan publik, dan membuat puluhan ribu warga kehilangan rumahnya.

Ya, apalagi kalau bukan Lumpur Lapindo. Sudah hampir dua dekade berlalu. Berbagai ahli datang dari penjuru dunia untuk melihatnya, tapi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Baru-baru ini, publik malah dihebohkan oleh penemuan harta karun langka di dalam lumpur. Elemen Logam Tanah Jarang yang mempunyai segudang manfaat dan katanya lebih mahal dari emas.

Kenapa Lumpur Lapindo terjadi?

Pukul 04.30 pagi 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur di tengah persawahan Kecamatan Porong, Sidoarjo. Semburan berasal dari Sumur Banjar Panji-1, lokasi pengeboran gas Lapindo Brantas Inc. Penyebabnya masih diperdebatkan, dan ada 2 teori yang muncul: efek dari gempa Yogyakarta dua hari sebelumnya, atau kesalahan prosedur pengeboran.

Lapindo Brantas Inc. atau LBI adalah perusahaan yang bergerak di industri minyak bumi dan gas. Saat itu, mereka tengah melakukan pengeboran sumur untuk eksplorasi gas. Kilas balik ke 11 hari sebelum bencana, perusahaan sudah diperingatkan untuk memasang pipa selubung pelindung dinding lubang bor sebelum kedalaman 2.804 dan mencapai Formasi Kujung.

Tapi menurut Wakil Presiden Humas LBI, sudah disetujui bahwa pipa selubung akan dipasang sekitar 5 meter dalam Formasi Kujung karena pemasangan 15 meter di atas lapisan ini berpotensi menimbulkan masalah. Pengeboran pun dilanjutkan melewati 2.600m. Tapi sudah semakin dalam, Formasi Kujung belum juga ditemukan.

Mencapai kedalaman 2.834m, letusan uap air dan gas mulai terlihat 200m dari titik pengeboran. Dugaannya adalah karena terjadi percampuran lumpur, air, dan gas dari lapisan-lapisan tanah akibat retakan lubang. Tekanan yang terlalu tinggi pun mendorong naik campuran material tadi.

Semburan lumpur lalu menjalar ke perumahan warga. Gas yang keluar dikabarkan mengandung hidrogen sulfida dan meracuni 2 penduduk sekitar. LBI awalnya mencoba menghentikan kebocoran dengan menuangkan lumpur berat ke sumur. Tapi material panas tetap meluas ke area sekitar. Kemudian perusahaan membangun tanggul penahan. Namun, lumpur terlanjur menenggelamkan 750 rumah dan menutup 2 jalur kereta api.

Saat itu, volume semburan harian mencapai 5.000 meter kubik, atau setara 2 kolam renang olimpiade, sehingga mampu merendam 90 hektar lahan dalam 21 hari. Tanggul pun berkali-kali jebol karena kesulitan menahan lumpur. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu menyusun strategi penanggulangan melalui penerbitan Keppres di 2006 dan Perpres di 2007.

Dibentuklah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo untuk menangani luapan lumpur serta masalah infrastruktur dan sosial di sekitarnya. Tapi hasilnya tidak maksimal karena semburan lumpur harian terus meningkat hingga 100.000 meter kubik di 2008, atau dapat mengisi 40 kolam renang olimpiade.

Bahkan lumpur sampai menjalar ke Jalan Raya Porong di 2010. Karenanya, LBI dan pemerintah juga harus mengganti rugi pada korban, dan jumlahnya tidak sedikit. Menurut Dadang Rukmana, Direktur Perkotaan Kementerian PU, pihak Lapindo akan membayarkan ganti rugi dengan cara membeli lahan yang terdampak dengan total Rp3,8 Triliun.

Untuk korban di luar PAT, ganti rugi dibebankan ke dana APBN. Tapi hingga 2013, LBI hanya dapat mengeluarkan Rp3,03 triliun, dan meminjam dana pemerintah sebesar Rp773 miliar di 2015 dengan jatuh tempo di Juli 2019. Bukannya membayar utang saat jatuh tempo, LBI malah menyatakan adanya piutang Rp1,9 triliun dengan pemerintah untuk penanggulangan lumpur di 2006 sampai 2007.

Utang LBI kemudian akan diselesaikan melalui perjumpaan utang. Secara tak langsung, pemerintah juga ikut menanggung ganti rugi. Dengan total alokasi dana APBN yang mencapai Rp11,27 triliun, penanganan Lumpur Lapindo tak juga selesai di 2017. Pemerintah diperkirakan masih membutuhkan Rp1,5 triliun lagi untuk menuntaskan penanggulangan ini. Anggaran sebesar Rp380 miliar pun kembali dikucurkan di 2020.

Ajaibnya, meski Lumpur Lapindo dinobatkan sebagai bencana metana terbesar di Bumi, kegiatan Blok Brantas masih berjalan. Di 2018, Kementerian ESDM memperpanjang kontrak bagi hasil dengan LBI selama 20 tahun, dan Lapindo Brantas akan kembali melakukan eksplorasi migas tidak jauh dari titik semburan.

Apa jadinya situasi ini nanti? Pertanyaannya bukanlah lagi siapa atau apa yang menyebabkan Lumpur Lapindo, melainkan kapan bencana ini akan berakhir?